Empat Terdakwa Kasus Korupsi Masjid Sriwijaya Menyampaikan Pembelaan
Reporter : Larassati
- Melalui Kuasa Hukum, Terdakwa Keberatan atas Dakwaan Tim JPU dari Kejati Sumsel
PALEMBANG, SIBERSUMSEL.com,- Empat terdakwa kasus korupsi Masjid Sriwijaya yakni EH merupakan pensiunan PNS eks Kepala Dinas Cipta Karya yang mendekam di Rutan Pakjo kelas IA Palembang, SF pegawai PNS di Ogan Ilir dan panitia lelang Masjid Sriwijaya, DK selaku Dirut Operasional PT BE, serta terdakwa YD dari PT BE menyampaikan keberataannya atas dakwaan tim JPU dari Kejati Sumsel.
Pembelaan tersebut terungkap pada persidangan dengan agenda pembacaan Pledoi empat tersangka dugaan kasus korupsi Masjid Sriwijaya diketuai majelis hakim Sahlan Effendi SH MH didampingi Abu Hanifah SH MH yang mempersilakan keempat terdakwa melalui kuasa hukumnya menyampaikan pembelaan atas dakwan tim JPU dari Kejati Sumsel.
Dalam pembacaan pembelaan hakim menghadirkan empat terdakwa yakni EH, SF, DK dan YD secara online.
Kuasa Hukum ke empat terdakwa, Hj Nurmala SH MH, mengatakan perjanjian antara Masjid Sriwijaya dan PT A, ini berawal dari perjanjian bila terjadi ada pelanggaran atau penyalah gunaan, maka masuk wanprestasi atau tidak sesuai perjanjian.
Nurmala menyampaikan bahwa terdakwa 1, EH, yang pertama mengatakan tidak sepakat terhadap tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut terdakwa dengan tuntutan pidana selama 19 tahun, denda 750 juta, uang pengganti sekitar 684 dengan sekitar kurungan 9 tahun 6 bulan.
“Itu adalah tuntutan yang paling kejam dan paling sadis di Sumsel tidak hanya Sumsel tetapi di Indonesia,” katanya.
Pihaknya berharap pihak hukum tidak diskriminatif. Nurmala menambahkan bila di bandingkan, tuntutan yang sangat disparitas ini dengan tuntutan-tuntutan yang kasusnya 2,3 Triliun cuma di tuntut Rp. 400 Miliar.
“Nah klien kami 683 juta dituntut 19 tahun ditambah 9 tahun 6 bulan, 28 tahun kalau tidak punya uang untuk membayar denda dan uang pengganti. Dimana keadilan yang selalu didengung-dengungkan dalam surat tuntutan jasa untuk keadilan,” ujarnya.
Selanjutnya kata Nurmala dakwaan JPU kabur atau obscuur libel, karena JPU menggunakan dakwaan komulatif, pasal 2, pasal 3, pasal 11 tapi menggunakan uraian dakwaan penuntut umum dan pasal 2,3 dan 11 itu sama. Padahal masing-masing unsur pasal itu berbeda. Jadi rumusan deliknya tidak jelas.
Sementara peran terdakwa 1 dan 2 telah merugikan keuangan negara, sebesar Rp 116,9 miliar lebih. Disitu atas perbuatan terdakwa 1 dan 2 disimpulkan, padahal dalam perkara ini ada terdakwa-terdakwa lain.
“Tidak hanya klien kami EH dan SF dijelaskan mereka berdua merugikan keuangan negara. Kabur dakwaanya karena dana hibah, dana hibah apabila sudah diterima penerima yakni Yayasan Masjid Sriwijaya maka murni jadi kekayaannya. Begitu sudah berada di rekening yayasan maka itu adalah hak kekayaan yayasan, yang tidak tunduk lagi dengan undang-undang angaran keuangan negara. Sesuai dengan pasal 26 tentang Undang-Undang Yayasan, bahwa kekayaan yayasan dapat, dari dana hibah, hibah wasiat maupun sumbangan lain,” jelasnya.
Menurut Nurmala kekayaan milik yayasan tidak bisa dipindahkan atau ditarik pihak lain.
“Dana hibah ini kan tidak langsung begitu dia keluar dari kas daerah selesai. Ini adalah masuk ranah Yayasan Masjid Sriwijaya,” cetusnya.
Ketiga, perhitungan kerugian dihitung Universitas Tadaluko, seyogyanya diserahkan kepada yang berkompeten atau BPKP.
“Tapi dalam hal ini dilakukan Universitas Tadaluko kami pertanyakan, mempertanyakan kepada klien kami. Apakah ada melakukan klarifikasi pada terdakwa dan saksi tidak dilakukan audit investisigatif, sehingga tidak sampai pada tahapan audit sebagaimana layaknya yang dilakukan oleh pihak kompeten, ini tidak memenuhi standar yang kompeten,” ujarnya.
Ahli juntco pun mengatakan bahwa yang berhak menghitung kerugian negara adalah BPK, BPKP, Inspektorat dan Bawasda untuk daerah.
“Kalau tuntutan ini berdasarkan pihak yang berwenang apa artinya negara hukum ini dan kita mau pake aturan yang mana,” katanya.
Mengenai pertanggungjawaban penggunaan dana hibah, sepenuhnya menjadi kewenangan yayasan.
“Dalam hal ini pengurus yayasan, pertanggungjawabannya bukan tunduk pada aturan keuangan daerah. Tetapi tanggung jawab penggunaan, apakah sesuai atau tidak. Misalnya untuk membangun masjid tapi dibangunkan untuk yang lain, itu namanya menyimpang, bukan tindak pidana tipikor tapi masuk penipuan,” terang Nurmala.
Terkait dana hibah Rp 50 miliar, bahwa anggaran dana hibah Rp 50 miliar itu dari anggaran tahun 2015, yang disahkan anggaran tahun 2014.
“Artinya sudah diketahui, dari pengesahan anggaran APBD tahun 2014. Kenapa harus dilakukan duluan, sebab sumber pembangunan masjid ini, tidak mengacu pada Sumber APBD, ada pihak ketiga, ada swasta boleh dia menerima pada sumber APBD Sumsel tapi dari pihak lain juga. Sehingga tidak harus menunggu MPHD, mengacu pada kepres dan perpres, sebagaimana dakwaan JPU,” urainya.
“Setahu saya NPHD Rp50 miliar, tetapi kenapa prosesnya tidak tunduk pada itu, sebab begitu diterima ini mekanisme hibah mengacu pada keuangan negara. Tetapi begitu pidah dana pindah ke rekening yayasan, maka menjadi kekayaan yayasan,” tegasnya.
Awalnya kan naskah perjanjian dana hibah daerah atau NPHD, baik tahun 2015 dan 2017.
“Kalau perjanjian dilanggaran tidak melakukan prestasi atau tidak sesuai perjanjian. Maka masuk rannah hukum perdata melanggar perjanjian, hanya mengikat dua pihak masuk ranah pidana, wanprestasi. Jadi pihak Tipikor tidak berwenang mengadili,” jelasnya.
Nurmala berharap eksepsi dikabulkan, karena dari dakwaan JPU banyak sekali celah-celah dikabulkan.
“Bila eksepsi dikabulkan bisa bebas dari dakwaan,” harapnya.