Fenomena Oknum Kepala Daerah Terlibat Korupsi di Mata Pendidik dan Anggota DPRD
Reporter : Larassati
- Dekan Fisip Unsri Prof DR Alfitri MSi : Dipicu Besaran Gaji dan System Transaksional Parpol
- Anggota DPRD Banyuasin, Muhammad Nasir : Tergantung Moral dan Mental Kepala Daerah
PALEMBANG, SIBERSUMSEL.com,- Fenomena banyaknya kepala daerah yang lengser dan masuk penjara karena terlibat korupsi mengundang pendapat dari tenaga pendidik hingga wakil rakyat.
Dekan Fakultas FSIP Universitas Sriwijaya, Prof DR Alfitri, MSi, berpendapat korupsi bisa di karenakan dari besaran gaji pokok seorang kepala daerah hingga sistem transaksional dari sejumlah partai politik.
Menurut Alfitri, gaji kepala daerah jauh di bawah gaji seorang komisaris di perusahaan yang bisa capai Rp 150 juta, sementara gaji pokok kepala daerah hanya berkisar Rp 5 juta dengan kebutuhan yang sangat besar.
“Dengan gaji pokok Rp 5 juta, mereka dituntut harus setoran atau sumbangan ke partai pengusung. Belum lagi memenuhi kebutuhan operasional lainnya selama memimpin daerah,” kata Alfitri.
Dengan kondisi tersebut lanjut Alfitri secara tidak langsung, negara dan parpol ikut bertanggung jawab dengan sistem seperti itu. Bila keadaan di balik, misalkan negara mengapresiasi penghasilan kepala daerah minimal sama dengan seorang komisaris, tentu budaya korupsi bisa lambat laun terkikis.
Namun Alfitri mengatakan membutuhkan waktu untuk membuat aturan baru dengan mengubah sistem besaran gaji hingga menghapus sistem transaksional parpol. Lembaga KPK juga dianjurkan lebih mendidik masyarakat dan Kepala daerah agar bisa mengatur semua sistem agar tindakan pencegahan lebih dititik beratkan.
“Kuatkan edukasi bagaimana mengatur dan melakukan pengawasan simultan, bisa juga ke masyarakat untuk menekan grafitasi juga. Jadi jangan asal tangkap saja,” ujarnyanya.
Sementara Anggota DPRD Banyuasin, Muhammad Nassir, berpendapat fenomena usai jadi raja lalu lengser ke penjara justru dipicu berbagai faktor. Yakni mental dan moral kepala daerah bersangkutan, teledornya pengawasan kepala daerah dengan sistem kerja jajaran dibawahnya, mulai dari Kepala Dinas hingga tingkatan Camat.
“Faktor utamanya karena mental dan moral. Jika niat membangun tidak ada, rasanya sulit jauh dari korupsi, apalagi melihat banyaknya dana APBD, ” kata Muhammad Nasir.
Tetapi tidak menutup kemungkinan juga karena keteledoran sendiri lantaran lemahnya pengawasan di internal bawah. Dia mengilustrasikan seorang Kepala Daerah yang jarang turun ke lapangan, asal dengar laporan saja dari anak buah, parahnya lagi anak buah juga cuma mendengar laporan juga dari jajaran di bawahnya lagi.
“Jadi ada kesalahan berlapis, bagaimana dia bisa menyusun anggaran tanpa mereka tahu kebutuhan masyarakat. Asal comot program dari dana APBD saja, satu yang bersalah tapi kesalahan jadi seperti berjemaah. Ini namanya lalai, ” ujar Nasir.
Menurut Nasir sangat tidak realistis jika hanya menuntut kenaikan gaji saja karena dalam situasi seperti ini. Seharusnya pemerintah melakukan banyak sekali refussing anggaran dan aturan sistem penggajian langsung dari Menteri Keuangan.
“Dan saya melihat dari penggunaan anggaran APBD saja, seperti di Banyuasin saja, hampir 30 persen dari APBD itu untuk belanja pegawai. Itu untuk penggajian saya lihat gaji Kepala Daerah sudah lebih dari cukup, belum lagi belanja barang dan jasa instansi. Dua ini saja sudah lebih dari cukup,” jelasnya.
Nasir mengungkapkan tanggungjawab seorang kepala daerah itu sudah bisa terukur sejak yang bersangkutan mencalonkan diri. Dengan sistem dan aturan yang sudah ada dari pemerintah maupun parpol, seharusnya kepala daerah sudah tahu dan bisa mengukur diri diawal, mampu atau tidak menjalankan tanggungjawab dengan aturan yang sudah ada.
“Seorang kepala daerah harus bisa mengukur diri sejak awal mencalonkan diri. Kalau soal gaji, kan sejak awal aturan UU sudah tahu, aturan partai sudah ada. kalau tidak mampu, seharusnya jangan mencalonkan diri,” ujarnya.
Yang jelas, dia menginbau konsekuensi menjadi Kepala daerah itu harus dipahami secara detail sejak awal, apa dampak positif dan negatifnya. Jangan sampai karena kadung sudah masuk dalam pusara pemerintah malah menyalahkan sistem yang tak berpihak. “Sekali lagi beban moral dan beban mental seorang kepala daerah harus siap sejak dini agar bisa menjadi lebih bertanggungjawab dalam menjalankan pemerintahan,” tukasnya.